Tidak banyak yang berubah dari perjalanan sekian panjang. Selama 31 tahun perjalanan itu hanya sedikit yang bisa dijadikan sebagai catatan. Bukan hanya banyak yang terlewat begitu saja, namun terlalu banyak yang tidak layak untuk dijadikan catatan, apalagi panutan.
Aku sama sekali nggak bilang kalau hal itu sia-sia, namun harusnya perjalanan yang begitu panjang bisa menghasilkan sesuatu yang sedikit banyak berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Tetapi itu juga hasil dari kemalasan yang sering kuciptakan sendiri. Nggak tahu juga kenapa semua bisa seperti ini. Rasanya aku semakin lama semakin tidak bisa melakukan apapun jua. Kadang aku merasa juga bahwa nasib selalu tidak berpihak kepadaku. Rasanya setiap melakukan usaha yang memungkinkan bisa memperpanjang nafas lebih panjang, selalu habis di tengah jalan. Aku sudah melakukan sesuatu yang maksimal dengan ukuran kemampuanku sendiri, namun hal itu selalu dipandang dengan sesuatu yang sangat negatif.
Kayaknya aku harus membuat catatan panjang tentang apa jua. Buat saat ini mungkin hal itu sangat tidak berarti, namun untuk dikemudian hari akan jadi pengingat yang mujarab. Otak manusia tidak selamanya akan bisa mengingat dan mencerna apa yang terjadi saat ini. Kebahagiaan, kesenangan, kenaifan,, keluguan, dan bahkan kesengsaraan, akan jadi memory yang sangat manis untuk dikenang.
Namun memulai adalah sesuatu yang amat susah. Memulai sesuatu hal bagaikan membongkar, membabat, dan membentuk jalan baru yang penuh belukar. Kadang aku nggak sanggup walau hanya dengan membayangkan. Jika itu terjadi malah yang keluar adalah rasa marah yang tidak berkesudahan. Sayangnya rasa marah itu tidak bisa aku atur sebagai bentuk semangat baru untuk merengkuh apa yang kumau. Tetapi rasa marah tersebut hanya menjadi bumerang yang akan membuat diri sendiri merugi.
Inilah saat yang kukira sangat tepat untuk kembali berbicara dengan diri sendiri. Apa yang sudah kulakukan, apa yang harusnya kulakukan, dan apa hasil dari yang sudah kulakukan. Introspeksi inilah yang ingin kulakukan. Bukan hanya sebagai pengingat belaka, namun juga sebagai sesuatu yang berguna bagi orang lain. Apalagi buat keluarga dan terlebih orangtuaku sendiri.
Ah, jadi ingat mereka. Aku merasa menjadi anak yang paling berdosa kepada mereka karena sama sekali belum bisa membahagiakan ayah dan ibu. Untuk hal-hal kecil aku masih menjadi momok yang begitu besar bagi keluarga. Keras kepala, emosional, dan egois adalah hal yang kadang bisa merusak hubungan yang selama ini sudah terjalin dengan baik. Seperti yang baru-baru ini terjadi. Aku menjadi begitu emosi saat mendengar kabar bahwa diriku akan segera dijodohkan dengan seseorang yang sama sekali nggak aku kenal. Bukannya aku segera menyelesaikan dengan bicara baik-baik, malah aku menyusur orang-orang yang memprovokasi aba agar aku segera menikah.
Memang sih, dalam hati ini sama sekali belum berkeinginan untuk segera menjalin komitmen dengan perempuan manapun. Bahkan untuk bisa suka dengan perempuan saja aku belum bisa. Usia adalah salah satu alasan yang sering dikemukakan untuk memojokkan diriku. Namun yang tidak dipahami mereka adalah bahwa aku belum mampu untuk bisa memberikan yang terbaik bagi pasangan, baik secara biologis maupun psikologis. Secara biologis aku merasa belum mampu untuk memenuhi kebutuhan perut dan lainnya. Secara psikologis cukup disayangkan bahwa saat ini perasaan masih begitu dingin kepada lawan jenis. Nggak ngerti juga kenapa bisa begitu. Yang jelas bukan karena dia yang sudah menikah, namun karena aku merasa belum bisa berbagi dengan orang lain apalagi orang yang dianggap isteri. Masih sangat jauh dari bayangan, apalagi keinginan. Untuk hal ini aku sering berkonfrontasi dengan sedulur-sedulur yang menginginkan diriku segera mengakhiri kelajangan. Namun kadangkala mereka nggak pernah bisa ngerti diriku padahal aku seringkali berusaha untuk kompromi agar bisa ngerti keinginan dan kemauan mereka. Ah, udahlah, itu nggak penting lagi. Kapan-kapan pun bisa melakukan itu semua. Aku tinggal menganggukkan kepala, maka semuanya akan selesai.
Aku seringkali menikmati kopi yang sehitam setan, sepanas neraka, dan semanis dosa*. Makanya banyak kuhabiskan waktu untuk sekedar kongkow-kongkow di warung kopi dan ngobrol ngalor ngidul. Menikmati kebersamaan, “kematian”, dan ketidakhadiran. Tidak penting apa yang akan dibicarakan, yang lebih penting adalah bisa menjauh dari kesepian.
Menyia-nyiakan peluang adalah hal yang paling sering aku lakukan. Emang sih, belum tentu di saat yang lain aku akan mendapatkan peluang yang sama. Keragu-raguan, ketakutan yang tidak beralasan, sering banget menghambat laju keinginan. Tergoda dengan hal temporer saja aku seringkali kalah. (lemah sekali diri ini…???). Kata beberapa teman, nggak punya cita-cita.
Benarkah? Mungkin, tapi tidsk semuanya benar. Ada hal lain yang tidak bisa dimengerti orang lain. Tapi ok lah, aku masih bisa menerima masukan dan peringatan dari siapa pun jua.
Aku sama sekali nggak bilang kalau hal itu sia-sia, namun harusnya perjalanan yang begitu panjang bisa menghasilkan sesuatu yang sedikit banyak berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Tetapi itu juga hasil dari kemalasan yang sering kuciptakan sendiri. Nggak tahu juga kenapa semua bisa seperti ini. Rasanya aku semakin lama semakin tidak bisa melakukan apapun jua. Kadang aku merasa juga bahwa nasib selalu tidak berpihak kepadaku. Rasanya setiap melakukan usaha yang memungkinkan bisa memperpanjang nafas lebih panjang, selalu habis di tengah jalan. Aku sudah melakukan sesuatu yang maksimal dengan ukuran kemampuanku sendiri, namun hal itu selalu dipandang dengan sesuatu yang sangat negatif.
Kayaknya aku harus membuat catatan panjang tentang apa jua. Buat saat ini mungkin hal itu sangat tidak berarti, namun untuk dikemudian hari akan jadi pengingat yang mujarab. Otak manusia tidak selamanya akan bisa mengingat dan mencerna apa yang terjadi saat ini. Kebahagiaan, kesenangan, kenaifan,, keluguan, dan bahkan kesengsaraan, akan jadi memory yang sangat manis untuk dikenang.
Namun memulai adalah sesuatu yang amat susah. Memulai sesuatu hal bagaikan membongkar, membabat, dan membentuk jalan baru yang penuh belukar. Kadang aku nggak sanggup walau hanya dengan membayangkan. Jika itu terjadi malah yang keluar adalah rasa marah yang tidak berkesudahan. Sayangnya rasa marah itu tidak bisa aku atur sebagai bentuk semangat baru untuk merengkuh apa yang kumau. Tetapi rasa marah tersebut hanya menjadi bumerang yang akan membuat diri sendiri merugi.
Inilah saat yang kukira sangat tepat untuk kembali berbicara dengan diri sendiri. Apa yang sudah kulakukan, apa yang harusnya kulakukan, dan apa hasil dari yang sudah kulakukan. Introspeksi inilah yang ingin kulakukan. Bukan hanya sebagai pengingat belaka, namun juga sebagai sesuatu yang berguna bagi orang lain. Apalagi buat keluarga dan terlebih orangtuaku sendiri.
Ah, jadi ingat mereka. Aku merasa menjadi anak yang paling berdosa kepada mereka karena sama sekali belum bisa membahagiakan ayah dan ibu. Untuk hal-hal kecil aku masih menjadi momok yang begitu besar bagi keluarga. Keras kepala, emosional, dan egois adalah hal yang kadang bisa merusak hubungan yang selama ini sudah terjalin dengan baik. Seperti yang baru-baru ini terjadi. Aku menjadi begitu emosi saat mendengar kabar bahwa diriku akan segera dijodohkan dengan seseorang yang sama sekali nggak aku kenal. Bukannya aku segera menyelesaikan dengan bicara baik-baik, malah aku menyusur orang-orang yang memprovokasi aba agar aku segera menikah.
Memang sih, dalam hati ini sama sekali belum berkeinginan untuk segera menjalin komitmen dengan perempuan manapun. Bahkan untuk bisa suka dengan perempuan saja aku belum bisa. Usia adalah salah satu alasan yang sering dikemukakan untuk memojokkan diriku. Namun yang tidak dipahami mereka adalah bahwa aku belum mampu untuk bisa memberikan yang terbaik bagi pasangan, baik secara biologis maupun psikologis. Secara biologis aku merasa belum mampu untuk memenuhi kebutuhan perut dan lainnya. Secara psikologis cukup disayangkan bahwa saat ini perasaan masih begitu dingin kepada lawan jenis. Nggak ngerti juga kenapa bisa begitu. Yang jelas bukan karena dia yang sudah menikah, namun karena aku merasa belum bisa berbagi dengan orang lain apalagi orang yang dianggap isteri. Masih sangat jauh dari bayangan, apalagi keinginan. Untuk hal ini aku sering berkonfrontasi dengan sedulur-sedulur yang menginginkan diriku segera mengakhiri kelajangan. Namun kadangkala mereka nggak pernah bisa ngerti diriku padahal aku seringkali berusaha untuk kompromi agar bisa ngerti keinginan dan kemauan mereka. Ah, udahlah, itu nggak penting lagi. Kapan-kapan pun bisa melakukan itu semua. Aku tinggal menganggukkan kepala, maka semuanya akan selesai.
Aku seringkali menikmati kopi yang sehitam setan, sepanas neraka, dan semanis dosa*. Makanya banyak kuhabiskan waktu untuk sekedar kongkow-kongkow di warung kopi dan ngobrol ngalor ngidul. Menikmati kebersamaan, “kematian”, dan ketidakhadiran. Tidak penting apa yang akan dibicarakan, yang lebih penting adalah bisa menjauh dari kesepian.
Menyia-nyiakan peluang adalah hal yang paling sering aku lakukan. Emang sih, belum tentu di saat yang lain aku akan mendapatkan peluang yang sama. Keragu-raguan, ketakutan yang tidak beralasan, sering banget menghambat laju keinginan. Tergoda dengan hal temporer saja aku seringkali kalah. (lemah sekali diri ini…???). Kata beberapa teman, nggak punya cita-cita.
Benarkah? Mungkin, tapi tidsk semuanya benar. Ada hal lain yang tidak bisa dimengerti orang lain. Tapi ok lah, aku masih bisa menerima masukan dan peringatan dari siapa pun jua.
*petikan puisi Hasyim Wahid yang termuat dalam antologi puisi Bunglon.
0 comments:
Post a Comment